Senin, 09 April 2018

Taman Ratu Safiatuddin

Provinsi Aceh memang sebuah daerah yang sangat unik, tak hanya memiliki berbagai pesona alam yang memukau, namun kebudayaan dan nilai-nilai adat istiadat masih dipegang teguh oleh daerah berjuluk Serambi Mekkah ini. Aceh juga memiliki beberapa tempat wisata budaya yang cukup menarik untuk dikunjungi, salah satunya adalah Taman Ratu Safiatuddin.
Taman Ratu Safiatuddin ini merupakan sebuah tempat wisata yang menawarkan berbagai jenis rumah adat dari kabupaten atau kota yang ada di provinsi Aceh. Tercatat, tak kurang dari 23 rumah adat tradisional Aceh bisa dijumpai disini. Taman yang sering disebut taman mininya Aceh ini, juga sering dijadikan diadakan berbagai festival budaya serta seni pertunjukan.
Taman Ratu Safiatuddin
Secara geografis, Taman Ratu Safiatuddin terletak pada Jalan T. Nyak Arief, Desa Lampriek, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi dari taman ini juga sangat dekat dengan Masjid Agung Al-Makmur dan juga Kantor Gubernur Aceh. Wisatawan pun bisa menjangkau lokasi taman ini dengan mudah, terdapat angkutan umum seperti labi-labi atau bisa menggunakan kendaraan pribadi.

Sejarah Taman Ratu Safiatuddin

Ratu Safiatuddin merupakan putri dari Sultan Iskandar Muda yang lahir dengan nama Putri Sri Alam. Ratu Safiatuddin juga menjadi istri dari Sultan Iskandar Tsani yang kala itu memimpin Kesultanan Aceh. Singkat cerita Sultan Iskandar Tsani meninggal pada tahun 1641, setelah beliau meninggal sangat sulit mencari pengganti beliau unuk memimpin Aceh.
Kandidat satu-satunya yang muncul adalah istri dari Sultan Iskandar Tsani yang tak lain adalah Ratu Safiatuddin. Namun ketika proses pemilihan pemimpin ini, terjadi keributan antara para Ulama dan Wujudiyah yang tidak setuju jika Aceh dipimpin oleh seorang perempuan. Mereka beranggapan bahwa Aceh akan kehilangan kewibawaannya dimata dunia jika dipimpin oleh wanita.
Ditengah keributan tersebut, muncullah seorang ulama besar bernama Nurrudin al-Raniri yang menengahi kericuhan ini. Beliau pun menyanggah berbagai alasan yang dikeluarkan untuk menolak diangkatnya Ratu Safiatuddin sebagai pemimpin Aceh. Diangkatlah Ratu Safiatuddin sebagai pemimpin baru Aceh, dengan gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-'Alam Syah Johan Berdaulat Zillu'llahi fi'l-'Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah.
Dalam kepemimpinan beliau, Aceh kala itu mengalami perkembangan yang cukup pesat di berbagai bidang sastra, adat dan ilmu pengetahuan. Ratu Safiatuddin sendiri dikenal memiliki hobi menulis sajak dan syair. Pada masa kepemimpinan beliau, dibangun perpustakaan-perpustakaan sebagai upaya mencerdaskan rakyat.
Beliau juga dikenal merupakan pemimpin yang cakap, arif dan bijaksana. Ratu Safiatuddin membentuk sebuah pengawal istana yang beranggotakan perempuan. Pasukan ini juga ikut turun ke medan pertempuran ketika terjadi Perang Malaka pada tahun 1639. Beliau juga meneruskan tradisi dengan memberikan hadiah tanah kepada pahlawan perang.
Pembangunan Taman Ratu Safiatuddin sendiri diperuntukkan mengenang jasa serta dedikasi beliau semasa memimpin Aceh. Taman ini dibangun ketika masa kepemimpinan Gubernur Abudullah Puteh dan diresmikan Presiden Indonesia, yang kala itu dijabat oleh Megawati Soekarnoputri.

Pesona Taman Ratu Safiatuddin

Pada Taman Ratu Safiatuddin ini, wisatawan bisa melihat adanya 23 rumah adat tradisional Aceh yang berasal dari beberapa kota dan kabupaten di Provinsi Aceh. Rumah adat Aceh memang pada umumnya seperti rumah panggung yang materialnya terbuat dari kayu, serta keunikan terletak pada konstruksinya yang tidak memakai paku.
Rumah adat dari berbagai kabupaten dan kota menjadi sebuah fenomena unik, dengan ajungan yang digunakan sebagai etalase untuk memamerkan baju tradisional, pelaminan serta aneka ragam budaya yang mewakili setiap daerah seperti Kabupaten Aceh Besar, Pidie Jaya, Langsa dan Banda Aceh.
Taman Ratu Safiatuddin
Sayangnya, wisatawan hanya bisa melihat benda-benda tradisional tersebut ketika ada event-event tertentu. Selain itu, tidak semua rumah adat memiliki penjaga, sehingga wisatawan tidak bisa masuk ke dalam rumah. Datanglah ketika ada acara budaya dan seni, jadi wisatawan bisa masuk kerumah dan melihat beberapa koleksi yang ada didalamnya.
Pada awal pembangunannya, hanya terdapat 20 rumah adat dari 20 kabupaten atau kota di Aceh. Seiring dengan pemekaran daerah, Taman Ratu Safiatuddin ini ditambah 3 rumah adat lagi dari Subulussalam, Nagan Raya dan Aceh Jaya.
Dalam Taman Ratu Safiatuddin ini juga terdapat sebuah panggung utama yang biasanya digunakan untuk acara pentas seni dan pertunjukkan. Acara tersebut diikut oleh 23 kabupaten dan kota yang ada di Banda Aceh. Setiap kabupaten atau kota akan mementaskan kesenian tradisional dari daerah masing-masing.
Taman Ratu Safiatuddin ini juga menjadi tempat diselenggarakannya Pekan Kebudayaan Aceh yang dilaksanakan tiap 5 tahun sekali. Acara ini akan mempertontonkan aneka ragam kebudayaan dari berbagai suku yang ada di Serambi Mekkah, seperti Suku Aceh, Suku Gayo, Suku Tamiang, Alas, Suku Singkil, Kluet, Aneuk Jame dan Simeulue.
Selain itu, di taman ini juga sering diadakan acara masak memasak yang memamerkan kuliner khas dari berbagai kabupaten dan kota. Acara ini diselenggarakan oleh ibu-ibu PKK, dengan masak secara massal dan dibagikan kepada pengunjung secara gratis.
Ketika sore hari, Taman Ratu Safiatuddin juga akan ramai dipadati oleh pengunjung. Banyak anak-anak kecil yang asyik bermain sepatu roda disekitar panggung utama. Selain itu, banyak pula masyarakat sekitar yang berkunjung ke taman untuk sekedar menghilangkan rasa penat usai menjalankan aktivitas sehari-hari.

Fasilitas Taman Ratu Safiatuddin

Di Taman Ratu Safiatuddin ini, juga dilengkapi berbagai fasilitas untuk memberikan kenyamanan bagi para wisatawan. Sudah tersedia fasilitas seperti toilet umum, tempat sampah, tempat parkir, dan juga musholla untuk beribadah. Wisatawan juga bisa pergi ke Masjid Agung Al-Makmur yang lokasinya cukup dekat dari taman ini.
Wisatawan juga tidak akan kesulitan untuk mencari kuliner disekitar Taman Ratu Safiatuddin. Biasanya, banyak sekali pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai macam makanan, selain itu disekitar lokasi taman juga terdapat warung, café hingga rumah makan yang bisa dituju oleh wisatawan.

Apabila wisatawan hendak bermalam, maka bisa memilih hotel dan penginapan yang ada tak jauh dari taman. Berkunjung ke taman ini bisa menjadi pilihan yang menarik, dikala hari libur tiba. Selain berlibur, kita juga bisa lebih mengenal tentang kebudayaan di Aceh. Berikut beberapa kegiatan yang bisa dilakukan wisatawan ketika berada di lokasi Taman Ratu Safiatuddin.

Wisata Budaya

Jika kamu seorang yang mencintai kebudayaan dan seni, maka tempat wisata satu ini sangat cocok menjadi tujuan berlibur disaat akhir pekan. Di taman ini, kamu akan disajikan dengan aneka ragam rumah adat dari berbagai kabupaten dan kota yang ada di Aceh. Rumah-rumah yang ada disini sangat unik, serta memiliki nilai arsitektur tinggi.
Kamu juga bisa melihat berbagai perabotan tradisional seperti pelaminan, baju tradisional, dan benda-benda lainnya. Selain itu, ditaman ini juga sering dilaksanakan berbagai pertunjukan kesenian dan budaya. Namun sebelum berkunjung, pastikan terlebih dahulu kamu mengetahui jadwal diselenggarakannya pertunjukkan seni di Taman Ratu Safiatuddin.

Hunting Foto

Bagi para pecinta fotografer, tempat ini juga seakan menjadi surga yang menawarkan banyak objek menarik serta spot memotret. Kamu bisa memotret keindahan rumah-rumah adat tradisional di Aceh, serta berbagai koleksi yang ada didalamnya. Banyak pula para pengunjung yang menjadikan rumah-rumah ini sebagai background untuk berfoto selfie.

Jika kamu tengah mencari objek menarik untuk tempat foto prewedding, maka Taman Ratu Safiatuddin ini bisa menjadi alternatif. Kamu bisa berjalan, menyusuri setiap jengkal taman untuk mencari spot-spot yang lebih indah dan view berberda. Bawalah kamera yang bagus, agar hasil fotomu lebih mengesankan.

masjid baiturrahim

Masjid Baiturrahim, Saksi Kedahsyatan Tsunami di Ulee Lheue


Dari arah Banda Aceh, di persimpangan menjelang Pelabuhan Ulee Lheue, terdapat sebuah masjid yang menjadi saksi kedahsyatan tragedi tsunami di Aceh. Masjid Baiturrahim namanya. Masjid ini menjadi satu dari sedikit bangunan yang masih kokoh berdiri di kawasan Ulee Lheue ketika musibah itu terjadi. Meski ada beberapa masjid lain yang juga bertahan dari bencana tersebut, Masjid Baiturrahim menyimpan nilai historis yang lebih mendalam karena usianya yang panjang.

Masjid Baiturrahim merupakan peninggalan Kesultanan Aceh. Masjid ini didirikan sekitar abad ke-17 dengan sebutan Masjid Jami' Ulee Lheue (dibaca “olele” dalam dialek Belanda). Saat Masjid Baiturrahman dibakar oleh pasukan Belanda pada tahun 1873, warga Banda Aceh berbondong-bondong melaksanakan Shalat Jumat di masjid ini. Diperkirakan mulai saat itulah “baiturrahim” menjadi nama masjid ini.

Pemerintah Hindia Belanda melakukan pemugaran pada masjid yang sebelumnya berkonstruksi semipermanen. Proses pemugaran selesai pada tahun 1923 dengan arsitektur baru yang amat dipengaruhi gaya Eropa. Ketika itu, masjid ini tidak memiliki kubah dan hanya mampu menampung sekitar 500 jamaah. Pada tahun 1981, atas bantuan Pemerintah Arab Saudi, kembali dilakukan pemugaran. Pemugaran kali ini memperluas sisi kanan dan kiri masjid, sehingga masjid dapat menampung sekitar 1.500 jamaah.

Hanya berselang dua tahun setelah dipugar, Banda Aceh diguncang gempa hebat. Banyak bangunan yang hancur akibat gempa tersebut. Sekitar 60% bangunan di sekeliling masjid hancur atau bahkan rata dengan tanah. Masjid ini pun tak luput terkena dampak. Kubah masjid runtuh. Saat dilakukan renovasi pasca gempa, bagian kubah dihilangkan sehingga bagian atas masjid hanya tertutup atap biasa. Selain gempa, masjid juga pernah diterjang banjir besar pada tahun 2001.

Pada tanggal 26 Desember 2004, gelombang raksasa setinggi 21 meter menghantam pesisir utara Banda Aceh. Kawasan Ulee Lheue yang berada persis di tepi laut menjadi salah satu wilayah yang paling parah terkena dampak. Nyaris semua bangunan di wilayah ini rata dengan tanah atau hanyut terhempas gelombang ke arah pusat Kota Banda Aceh – beserta ribuan jiwa yang menjadi korban.

Ketika bencana tsunami itu terjadi, masjid ini tetap kokoh berdiri di tengah hamparan puing bangunan sekitarnya yang telah hancur. Hanya sebagian kecil bagian bangunan yang mengalami kerusakan akibat bencana tersebut.

Pasca tsunami, masjid ini menarik perhatian banyak pihak dari berbagai belahan dunia. Sebagai salah satu rumah ibadah yang selamat dari bencana, keberadaan masjid ini menjadi daya tarik wisata bernuansa religi selain Masjid Agung Baiturrahman dan Masjid Rahmatullah Lampuuk.

Pengunjung Masjid Baiturrahim biasanya tidak sekadar mengabadikan situs bersejarah yang selamat dari berbagai bencana ini. Mereka biasanya menyempatkan diri untuk melakukan shalat di masjid ini. Pengurus masjid dan Pemerintah Kota Banda Aceh pun telah menyediakan fasilitas informasi bagi pengunjung. 

monumen PLTD Apung

Monumen PLTD Apung, Saksi Bisu Kedahsyatan Tsunami Aceh


Kedhasyatan gelombang tsunami yang menerpa pesisir utara Banda Aceh pada Bulan Desember 2004 yang lalu ternyata masih meninggalkan jejak. Tidak hanya masih terbayang dalam ingatan, tsunami juga meninggalkan jejak berupa monumen. Monumen yang menjadi peringatan bagi siapapun terhadap dahsyatnya kekuatan alam.

Salah satunya adalah Monumen PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) Apung di Desa Punge, Blancut, Banda Aceh. Sesuai namanya, kapal ini merupakan sumber tenaga listrik bagi wilayah Ulee Lheue – tempat kapal ini ditambatkan sebelum terjadinya tsunami.

Kapal dengan panjang 63 meter ini mampu menghasilkan daya sebesar 10,5 megawatt. Dengan luas mencapai 1.900 meter persegi dan bobot 2.600 ton, tidak ada yang membayangkan kapal ini dapat bergerak hingga ke tengah Kota Banda Aceh.

Ketika tsunami terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, kapal ini terseret gelombang pasang setinggi 9 meter sehingga bergeser ke jantung Kota Banda Aceh sejauh 5 kilometer. Kapal ini terhempas hingga ke tengah-tengah pemukiman warga, tidak jauh dari Museum Tsunami.

Dari 11 orang awak dan beberapa warga yang berada di atas kapal ketika tsunami terjadi, hanya satu orang yang berhasil selamat. Fenomena pergeseran kapal ini menunjukkan kedahsyatan kekuatan gelombang yang menimpa Serambi Makkah kala itu.

Saat ini, area sekitar PLTD Apung telah dibeli oleh pemerintah untuk ditata ulang menjadi wahana wisata edukasi. Untuk mengenang korban jiwa yang jatuh akibat tsunami, dibangun monumen peringatan. Pada monumen itu, tertera tanggal dan waktu kejadian dari musibah yang juga menimpa beberapa negara selain Indonesia.

Di sekeliling monumen, dibangun dinding dengan relief menyerupai gelombang air bah. Dari atas kapal ini, pengunjung juga dapat melihat rangkaian pegunungan Bukit Barisan.

museum aceh

Tidak lengkap rasanya, kalau berkunjung ke Aceh tanpa mengunjungi Museum Tsunami, apalagi menjelang Visit Aceh 2013. Museum ini dibangun oleh BRR NAD-NIAS setelah  perlombaan desain yang dimenangkan M. Ridwan Kamil, dosen ITB dan berhak atas dana 100 juta rupiah. Museum ini sendiri menghabiskan 140 Milyar untuk pembangunannya. Bila diperhatikan dari atas, museum ini merefleksikan gelombang tsunami, tapi kalo dilihat dari samping (bawah) nampak seperti kapal penyelamat dengan geladak yang luas sebagai escape building.
[caption id="attachment_187198" align="aligncenter" width="600" caption="Desain Museum Tsunami dari atas (sumber: rancupid.blogspot.com)"]
13419420761677116273
[/caption]
Begitu masuk di dalam, anda serasa memasuki lorong gelap gelombang tsunami dengan ketinggian 40 meter dengan efek air jatuh. Hati-hati  dengan kepala anda, siapkan topi lebar agar rambut dan baju anda tidak basah. Bagi yang takut gelap dan masih phobia dengan tsunami, tidak disarankan untuk masuk dari jalur ini. Setelah melewati tempat ini, puluhan standing screen menyajikan foto-foto pasca tsunami berupa kerusakan dan kehancuran serta kematian, yang penuh dengan gambar korban dan gambar pertolongan terhadap mereka.
[caption id="attachment_187199" align="aligncenter" width="550" caption="Lorong Gelap Tsunami (sumber: medandailybisnis.com)"]
1341942153501023315
[/caption]
Setelah dari ruangan ini, anda akan memasuki "Ruang Penentuan Nasib" atau "Fighting Room", sering disebut juga The Light of God. Ruangan ini berbentuk seperti cerobong semi-gelap dengan tulisan Allah dibagian puncaknya. Hal ini merefleksikan perjuangan para korban tsunami. Dimana, bagi mereka yang menyerah ketika tersekap gelombang tsunami, maka nama mereka terpatri di dinding cerobong sebagai korban. Sebaliknya, bagi mereka yang merasa masih ada harapan, terus berjuang seraya mengharapkan belas kasih dari Yang Maha Menolong. Begitu mereka yakin akan adanya pertolongan Allah, maka mereka seakan seperti mendengar adanya panggilan ilahi dan terus berjuang hingga selamat keluar dari gelombang tersebut.
13419423091570079901
Cerobong The Light of God: antara hidup dan mati (sumber: rancupid.blogspot.com)
Alhamdulillah, mereka akhirnya betul-betul bisa keluar dari gelombang maut tersebut setelah berputar-putar melawan arus. Hal ini direfleksikan dengan perjalanan memutar keluar dari cerobong tersebut menuju Jembatan Harapan (Hope Bridge). Ketika mencapai jembatan ini, para survivor melihat bendera 52 negara, seakan mereka mengulurkan bantuan untuk mereka. Melalui jembatan ini, seperti melewati air tsunami menuju ke tempat yang lebih tinggi. Di sini anda akan di sambut dengan pemutaran film tsunami selama 15 menit dari gempa terjadi, saat tsunami terjadi hingga saat pertolongan datang.
134194242148791594
Jam Mati: bukti konkrit saat detik-detik tsunami
Keluar dari sini anda akan melihat banyak foto raksasa dan artefak tsunami. Misalnya: jam berdiri besar yang mati saat waktu menunjukkan pukul 8.17 menit atau foto jam Mesjid Raya Baiturrahman yang jatuh dan mati juga pada saat tersebut. Artefak lainnya ialah miniatur-miniatur tentang tsunami. Misal, orang-orang yang sedang menangkap ikan di laut dan berlarian menyelamatkan diri saat gelombang melebihi tinggi pohon kelapa menerjang mereka. atau bangunan-bangunan rumah yang porak-poranda oleh gempa sebelum datang air bah "membersihkannya".
13419424992102872593
Seorang turis asing sedang mengabadikan miniatur ombak tsunami
Naik ke lantai tiga, disana terdapat bermacam-macam sarana pengetahuan gempa dan tsunami berbasis iptek. Diantaranya sejarah dan potensi tsunami di seluruh titik bumi, simulasi meletusnya gunung api di seluruh Indonesia, simulasi gempa yang bisa disetel seberapa skala richtel yang kita mau dan kalau beruntung anda juga bisa "ikut menikmati" simulasi 4D (empat dimensi) kejadian gempa dan tsunami. Selain itu juga terdapat desain ideal rancangan tata ruang bagi wilayah yang punya potensi tsunami.
1341941868727861868
Desain Tata Ruang Ideal untuk Kawasan Berpotensi Tsunami
Akhirnya, di ujung kunjungan, anda bisa menikmati beberapa kue kering khas Aceh seperti keukarah, ceupet kuet, gula u tarek dan lainnya di Ruang Souvenir. Terdapat juga kaos-kaos dan souvenir khas Aceh seperti rencong, bros rencong  dan bros pinto aceh dan ada banyak lagi. Turun ke bawah, anda bisa bersantai dipinggir kolam jembatan Harapan sambil melihat ikan-ikan hias yang berenang ke sana kemari atau mengambil beberapa moment foto di geladak museum. Bila beruntung, anda bisa berfoto dengan para calon penganten yang sering melakukan foto pra-wedding disini. Tapi bila terasa lapar dan ingin sholat dhuha, tersedia cafe dan ruang musholla bagian bawah sebelah timur gedung. Bila ingin ke kamar kecil, anda bisa menggunakan ruang bawah geladak, setelah gerbang masuk. Akhirnya, semoga kunjungan anda membawa banyak manfaat dan menambah pengetahuan baru yang bisa anda ceritakan sebagai "oleh-oleh" ketika pulang nantinya.
13419425841189639924
Kolam berikan: tempat bersantai sambil melihat ikan-ikan hias (sumber: anneahira.com)
[caption id="attachment_187259" align="aligncenter" width="512" caption="Tempat anak-anak muda bercengkrama, katanya malam purnama disini syahdu sekali (?)"]


masjid raya baiturrahman

Masjid Raya Baiturrahman, Kebanggaan Aceh yang Melintas Sejarah


Jika ada sebuah tempat yang harus Anda kunjungi saat bertandang ke Banda Aceh, itu adalah Masjid Raya Baiturrahman. Inilah situs bersejarah yang telah ada sejak era kejayaan Kesultanan Aceh dan bertahan hingga saat ini. Masjid ini telah melalui berbagai hal, mulai dari tragedi pembakaran oleh kolonial Belanda tahun 1873 hingga hantaman tsunami di akhir 2004.
Masjid Raya Baiturrahman pertama kali dibangun di era Kesultanan Aceh. Bagian atap masjid ini dibuat sesuai dengan ciri khas masjid-masjid di Indonesia pada masa itu, atap limas bersusun empat.
Terdapat dua versi sejarah mengenai riwayat pembangunan masjid ini. Sebagian sumber menyebutkan masjid ini didirikan pada 1292 M oleh Sultan Alauddin Johan Mahmudsyah. Sementara, sumber yang lain menyebutkan masjid ini didirikan oleh Sultan Iskandar Muda pada 1612 M.
Dalam perjalanannya, masjid ini pernah dibumihanguskan oleh Belanda saat serangan ke Koetaradja (Banda Aceh) pada 10 April 1873. Runtuhnya bangunan masjid memicu meletusnya perlawanan masyarakat Aceh. Mereka berjuang mempertahankan masjid hingga darah penghabisan. Pada pertempuran tersebut, pihak Belanda kehilangan seorang panglima mereka, Major General Johan Harmen Rudolf Köhler pada 14 April 1873.
Bangunan masjid lalu dibangun ulang oleh pihak Belanda atas perintah Jenderal Van Der Heijden. Pembangunan ulang masjid ini merupakan bagian dari upaya meredakan resistensi rakyat Aceh terhadap pendudukan Belanda. Proses pembangunan ulang Majid Raya Baiturrahman berlangsung pada 1879-1881 M. Arsitektur bangunan yang baru dibuat oleh de Bruchi yang mengadaptasi gaya Moghul (India).
Masjid yang terletak di pusat Kota Banda Aceh ini kemudian mengalami beberapa kali perluasan. Yang pertama terjadi pada tahun 1936. Atas upaya Gubernur Jenderal A. PH. Van Aken, dilakukan pembangunan dua kubah di sisi kanan dan kiri masjid. Selanjutnya, pada tahun 1958-1965, bangunan masjid kembali diperluas. Pada perluasan kedua ini ditambahkan dua kubah dan dua menara di sisi barat (mihrab). Kelima kubah ini merupakan perlambang lima elemen dalam Pancasila.
Pada tahun 1992, dilakukan pembangunan dengan penambahan dua kubah dan lima menara. Selain itu, dilakukan perluasan halaman masjid sehingga total luas area masjid saat ini menjadi 16.070 meter persegi.
Saat gelombang tsunami setinggi 21 meter menghantam pesisir Banda Aceh pada 26 Desember 2004, masjid ini termasuk bangunan yang selamat – meskipun terjadi kerusakan di beberapa bagian masjid.
Upaya renovasi pasca-tsunami menelan dana sebesar Rp20 miliar. Dana tersebut berasal dari bantuan dunia internasional, antara lain Saudi Charity Campaign. Proses renovasi selesai pada 15 Januari 2008. Saat ini, Masjid Raya Baiturrahman menjadi pusat pengembangan aktivitas keislaman bagi masyarakat Banda Aceh.